Minggu, 16 Mei 2010

jurnal 11 mei

PEMBANGUNAN HUKUM

Perkembangan masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti perkembangan zaman. Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Hal ini berlaku pula pada pandangan terhadap perkembangan birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan struktur hukum itu. Bentuk-bentuk hukum yang menekankan pada kekuasaannya mulai dilkritisi dan diubah menjadi aturan hukum yang lebih mengakar kepada keinginan masyarakat luas dimana, bentuk hukum dan dikenal sebagai rasionalitas formal, diarahkan kepada rasionalitas substansif. Dengan tingkat kesejahteraan dan peraturan, tekanan yang lebih besar yang selama ini ditempatkan pada hukum rasional formal yang memberikan perhatian dan fungsi pada orientasi pemerintah akan banyak mengarah pada pembangunan hukum yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, agar nantinya hukum akan dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan dan intervensi arah dengan maksud tertentu. Dengan adanya upaya itu maka perlu dilakukan suatu usaha sebagai ‘rematerialisasi hukum’ sehingga terus ada upaya dalam menuju suatu tatanan hukum modern. Dengan demikian maka orientasi hukum dan masyarakat harus senantiasa didengungkan agar bagian dari warisan program status welfare-regulatory ini akan berkembang menuju mengacu pada solusi dalam merubah rasionalitas formal ini, sebab hukum dibentuk tidak untuk hanya kepentingan hukum itu sendiri, namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan masyarakat. Oleh karena disadari bahwa kehidupan manusia dan masyarakat tanpa aturan hukum akan kacau atau tidak tertib. Perubahan pemikiran hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif digunakan sebagai instrumen untuk melakukan perubahan yg berorientasi pada suatu tujuan atau sasaran, yang lebih umum dan terbuka serta lebih terinci. Pendekatan teori neo-evolusioner menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan hukum dan masyarakat dalam suatu negara yang oleh Teubner menggunakan mengarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial dengan hukum refleksif. Sebelumnya, Teubner dalam menguraikan pendapat Phillipe Nonet dan Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni: represif, otonom, dan responsif. Selain itu, Nonet da Selznick juga menyatakan bahwa Hukum represif sebagai tatanan hukum yang tidak menjamin keadilan substantif, memiliki potensi yang membuat otoritas penguasa semakin efektif demi mempertahankan status quo.

Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet dan Selznick, Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada “dinamika internal” sistem hukum. Dengan model ini maka aturan- aturan hukum hanya berada pada penguatan-penguatan yang mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya. Penguatan yang berpusat pada hukum ini akan memperkuat bentuk hukum yang ada pada sisi pembuat hukum itu sendiri sehingga kecenderungan yang akan muncul adalah hukum akan sulit diterima secara menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi yang dimuat dalam model ini hanya akan menjadikan hukum sebagai poduk otonomi. Dari gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat sebagai hasilnya adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan akan cenderung mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung menguat dengan sendirinya sehingga tidak ada yang dapt mengganggu keadaan hukum ini sehingga menjadi hukum yang otonom (autonomous law). Kemungkinan lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan berjalan sendiri tanpa adanya unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan istilah yang dikenal dengan ‘hukum tanpa masyarakat ‘(law without society).

TIGA SISTEM HUKUM

Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Ketiga tahapan tersebut sebenarnya muncul berdasarkan alasan-alasan dan kondisi-kondisi pada saat tipe hukum itu ada. Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan
tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun
ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada
tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola
represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih
besar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar