Senin, 31 Mei 2010

jurnal 25 mei 2010

Hermeneutika dan masa depan ilmu hukum



Hermeneutika (dari bahasa Yunani Ερμηνεύω hermēneuō: menafsirkan) adalah aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan. Biasa dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab.Kata hermeneutika tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani, yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa kepada manusia. Dewa ini juga dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian. Dengan demikian kegiatan menafsir adalah kegiatan yang biasa kita lakukan di dalam hidup kita sehari-hari. Terlebih lagi ketika kita membaca Alkitab, kita pun harus menafsirkannya. Ada beberapa metode menafsir Alkitab antara lain kritik bentuk dan kritik tradisi. Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation).Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol. Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks. Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.



Sumber hukum berkaitan dengan fakta hukum


Sumber hukum ternyata

Menurut Paul scholten(alih hukum belanda)
Mengatakan: “het rech is er,doch he moet worden gevonder”
Hukum itu ada,tapi masih harus ditemukan.

Tidak selamanya jelas,sumber hukum sama dengan fakta hukum karena:

-ada kata yang bermakna ganda

-ada perbedaan konteks antara saat aturan itu dibuat dan kondisi sekarang
-ada perbedaan pengertian antara satu aturan dengan aturan lainnya.


Beberapa tokoh hermeneutika


Friedrich Schleiermacher (1768-1834)

Schleiermacher dilahirkan di Breslau di Silesia, sebagai anak seorang pendeta tentara dari Gereja Reformasi di Prusia. Ia belajar di sebuah sekolah Moravia di Niesky di Lusatia Hulu, dan di Barby dekat Halle. Namun demikian, teologi Moravia yang pietis tidak berhasil memuaskan keragu-raguannya yang kian meningkat, dan dengan berat hati ayahnya memberikan kepadanya izin untuk masuk ke Universitas Halle, yang telah meninggalkan pietisme dan mengambil semangat rasionalis dari Friedrich August Wolf dan Johann Salomo Semler. Sebagai seorang mahasiswa teologi Schleiermacher mengambil kuliah mandiri dalam membaca dan mengabaikan pelajaran Perjanjian Lama dan bahasa-bahasa Oriental. Namun demikian, ia tetap mengikuti kuliah-kuliah, yang memperkenalkannya dengan teknik-teknik kritis sejarah dalam Perjanjian Baru, dan kuliah Johann Augustus Eberhard, yang membuatnya mencintai filsafat Plato dan Aristoteles. Pada saat yang sama ia mempelajari tulisan-tulisan Immanuel Kant dan Friedrich Heinrich Jacobi. Ia mengembangkan kebiasaannya yang khas dalam membentuk opini-opininya dengan cara menguji dan mempertimbangkan dengan sabar berbagai posisi yang digunakannya untuk membangun pemikirannya sendiri. Sebagai mahasiswa memang ia telah mulai menerapkan gagasan-gagasan dari para filsuf Yunani hingga merekonstruksikan sistem Kant.




Wilhelm dilthey (1833-1977)


Wilhelm Dilthey (19 November 1833 – 1 Oktober 1911) adalah seorang sejarahwan, psikolog, sosiolog, siswa hermeneutika, dan filsuf Jerman. Dilthey dapat dianggap sebagai seorang empirisis, berlawanan dengan idealisme yang meluas di Jerman pada waktu itu, tetapi penjelasannya tentang apa yang empiris dan eksperiensial berbeda dengan empirisisme Britania dan positivisme dalam asumsi-asumsi epistemologis dan ontologis sentralnya, yang diambil dari tradisi-traidisi sastra dan filsafat Jerman.


Martin konteks (1884-1976)

(lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Ia mempengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri dan Karl Löwith. Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe juga mempelajari tulisan-tulisannya dengan mendalam. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistentialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme. Ia berusaha mengalihkan filsafat Barat dari pertanyaan-pertanyaan metafisis dan epistemologis ke arah pertanyaan-pertanyaan ontologis, artinya, pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keberadaan, atau apa artinya bagi manusia untuk berada. Heidegger juga merupakan anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei.

Minggu, 16 Mei 2010

jurnal 11 mei

PEMBANGUNAN HUKUM

Perkembangan masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti perkembangan zaman. Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Hal ini berlaku pula pada pandangan terhadap perkembangan birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan struktur hukum itu. Bentuk-bentuk hukum yang menekankan pada kekuasaannya mulai dilkritisi dan diubah menjadi aturan hukum yang lebih mengakar kepada keinginan masyarakat luas dimana, bentuk hukum dan dikenal sebagai rasionalitas formal, diarahkan kepada rasionalitas substansif. Dengan tingkat kesejahteraan dan peraturan, tekanan yang lebih besar yang selama ini ditempatkan pada hukum rasional formal yang memberikan perhatian dan fungsi pada orientasi pemerintah akan banyak mengarah pada pembangunan hukum yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, agar nantinya hukum akan dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan dan intervensi arah dengan maksud tertentu. Dengan adanya upaya itu maka perlu dilakukan suatu usaha sebagai ‘rematerialisasi hukum’ sehingga terus ada upaya dalam menuju suatu tatanan hukum modern. Dengan demikian maka orientasi hukum dan masyarakat harus senantiasa didengungkan agar bagian dari warisan program status welfare-regulatory ini akan berkembang menuju mengacu pada solusi dalam merubah rasionalitas formal ini, sebab hukum dibentuk tidak untuk hanya kepentingan hukum itu sendiri, namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan masyarakat. Oleh karena disadari bahwa kehidupan manusia dan masyarakat tanpa aturan hukum akan kacau atau tidak tertib. Perubahan pemikiran hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif digunakan sebagai instrumen untuk melakukan perubahan yg berorientasi pada suatu tujuan atau sasaran, yang lebih umum dan terbuka serta lebih terinci. Pendekatan teori neo-evolusioner menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan hukum dan masyarakat dalam suatu negara yang oleh Teubner menggunakan mengarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial dengan hukum refleksif. Sebelumnya, Teubner dalam menguraikan pendapat Phillipe Nonet dan Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni: represif, otonom, dan responsif. Selain itu, Nonet da Selznick juga menyatakan bahwa Hukum represif sebagai tatanan hukum yang tidak menjamin keadilan substantif, memiliki potensi yang membuat otoritas penguasa semakin efektif demi mempertahankan status quo.

Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet dan Selznick, Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada “dinamika internal” sistem hukum. Dengan model ini maka aturan- aturan hukum hanya berada pada penguatan-penguatan yang mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya. Penguatan yang berpusat pada hukum ini akan memperkuat bentuk hukum yang ada pada sisi pembuat hukum itu sendiri sehingga kecenderungan yang akan muncul adalah hukum akan sulit diterima secara menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi yang dimuat dalam model ini hanya akan menjadikan hukum sebagai poduk otonomi. Dari gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat sebagai hasilnya adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan akan cenderung mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung menguat dengan sendirinya sehingga tidak ada yang dapt mengganggu keadaan hukum ini sehingga menjadi hukum yang otonom (autonomous law). Kemungkinan lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan berjalan sendiri tanpa adanya unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan istilah yang dikenal dengan ‘hukum tanpa masyarakat ‘(law without society).

TIGA SISTEM HUKUM

Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).

Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Ketiga tahapan tersebut sebenarnya muncul berdasarkan alasan-alasan dan kondisi-kondisi pada saat tipe hukum itu ada. Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan II (hukum responsif) yang menjanjikan
tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun
ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada
tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola
represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih
besar.


Senin, 10 Mei 2010

JURNAL KULIAH 04 MEI 2010

Pluralisme hukum

Tersedia dan berlakunya beraneka hukum dalam satu wilayah dan hukum waktu bersamaan.indonesia termasuk Negara dengan tingkat pluralisme hukum yang tinggi.

- Pluaralisme hukum ini makin menjadi isu penting karena :

1. Peninggalan produk hukum era hindia yang belum tergantikan.

2. Eksistensi hukum adat yang pada beberapa wilayah masih sangat kuat ( mungkin makin menguat ditengah isu otonomi daerah)

3. Penerapan hukum adat yang pada beberapa wilayah

4. Dampak arus internasional,khusus dilapangan hukum ekonomi

5. Tak adanya desain hukum nasional Indonesia.

Pluralisme hukum secara umum didefinisikan sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat.
Mantan Wasekab itu menjelaskan bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki sistem hukum sendiri yang berbeda antar satu dengan yang lain seperti dalam keluarga, tingkatan umur, komunitas, kelompok politik, yang merupakan kesatuan dari masyarakat yang homogen. Ilustrasi menarik mengenai pluralisme hukum diberikan oleh Prof. Erman terkait berlakunya syariat Islam di Aceh. Guru Besar Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut menilai bahwa saat ini hukum adat dan hukum Islam hidup secara harmonis dalam masyarakat seperti dua sisi koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keserasian hukum adat dan hukum Islam juga dicontohkan oleh Prof. Erman dalam putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasus Marunduri Cs melawan Maruhawan Cs pada Perkara Nomor 172 K/SIP/1974. Dalam perkara ini MA menerapkan dua hukum sekaligus, hukum Islam untuk berlaku untuk orang Muslim, sementara hukum adat berlaku untuk non-Muslim.

- Skema pembentukan (system hukum nasioanal)

1. Pancasila

2. UUD 1945

3. Per-UU

4. Yurisprudensi

5. Hukum kebebasan

- Teori chaos dari “ Charles Stamford”

- Hukum bukan suatu system yang tertib teratur (seperti diiklani,kaum positive)hukum itu chaos (cair [Me-lee] disorder, a-simetris) => memunculkan pluralitas diversitas dan multiplisitas.

- hukum bukan realitas utuh yang bias direduksi atau diprediksi=> justru unprediatictable

- hukum bukan sesuatu relasi yang seimbang => justrul kekuatan (kekuasaan ) didalam masyarakat.

- hukum bukan narasi dan timbale balik antara penafsir dan hermeneutis dan timbale balik antara penafsir dan realitas yang ditafsir.penggunaan logika sintesis lebih utama daripada logika posisi binary (on off logis)

Pluarisme hukum

Berkisar pada 3 pertanyaan dasar :

1. Apakah hukum hukum Negara : apakah aturan normative lain nya juga hukum?

2. Apakah pluralism hukum : konsep hukum : konsep poloitik: konsep analitis komparatif?

3. Apakah konsep pluralisme hukum memungkinkan analisis tentang hubungan kekuasaan diantara berbagai aturan hukum?

Pemerintah hindia belanda pernah mencoba menerapkan unifikasi hukum,tetapi gagal lalu:

1. Orang-orang bumiputera dbiarkan menjalankan hukum adat dan lembaga-lembaga agama nya

2. Jika perlu menjalankan hukum eropa orang bumi putera harus menundukan diri

Pluralisme Hukum di Indonesia

Diakui Erman, pluralitas sendiri merupakan ciri khas Indonesia. Dengan banyak pulau, suku, bahasa, dan budaya, Indonesia ingin membangun bangsa yang stabil dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menurutnya menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan yang berbeda mengenai cara pandang dan keyakinan yang hidup di masyarkat Indonesia.

Menurut Prof. Erman, kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam transaksi tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya.Sementara itu, The Commission on Folk Law and Legal Pluralism Prof. Anne Griffith ditemui di sela-sela acara tersebut, menjelaskan bahwa saat ini kita hidup tidak dengan satu hukum tetapi dengan berbagai hukum sehingga pemahaman mengenai pluralisme hukum perlu diberikan kepada pengambil kebijakan, ahli hukum, antopolog, sosiolog dan ilmuwan sosial lainnya.

Pengertian pluralisme hukum sendiri menurutnya senantiasa mengalami perkembangan dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Bahkan dengan dengan adanya globalisasi, menurut Sulis hubungan tersebut menjadi semakin komplek karena terkait pula dengan perkembangan hukum internasional.

Terkait pluralisme hukum yang ada Indonesia, Erman menyatakan bahwa kendala terberat adalah dalam mewujudkan kepastian hukum. Hukum di Indonesia menurut guru besar tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Bahkan pemberantasan korupsi sampai saat ini pun oleh Prof. Erman diakui sangat sulit karena dalam penegakannya banyak mempertimbangkan faktor politik.

Pluralisme hukum :

1. Cakupan istilah hukum ,mazhab sejarah us kaum etatis hanya Negara yang layak disebut hukum

2. Konsep analitis komparatif dan konsep politik hukum

- Ada berkait pengakuan system hukum Negara ,melahirkan :

1. Pluralisme Negara ( sebutan G.R woodiman)

2. Pluralisme Realitif ( sebutan J.Vanderlinden)

3. Pluralisme Lemah ( sebutan J.Giffiths )

- Tidak bergantung pada pengakuan apapun ,melahirkan :

1. Pluralisme dalam

2. Pluralisme deskriptif

3. Pluralisme kuat

Hanya ini yang memiliki konsep analitis komparahatif (perbandingan sedrajat)

3.Hubungan kekuasaan diantara berbagai system hukum: kekuasaan Negara memegang peranandalam menentukan pola hubungan antar system hukum

Menurut sally f.more : namun kekuasaan sangat tergantung pada konteks ,dalam konteks tertentu kekuasaan Negara hamper tidak berperan sebab setiap masyarakat memiliki wilayah social yang semi otonom ( semi- altomous social field)

Minggu, 02 Mei 2010

CRITICAL LEGAL STUDIES

Critical Legal Studies

Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak GSHK adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya. Critical Legal Studies oleh Ifdhal Kasim diterjemahkan dengan istilah bahasa Indonesia Gerakan Studi Hukum Kritis (GSHK).( Khaerul H. Tanjung)

Latar Belakang CLS adalah terjadi karena pergeseran prinsip bernegara dari liberal klasik (abad 19) menjadi pasca liberal (korpoorasi) pada abad 20. penyebab pergeseran karena pemikiran kaum pemikir pada zaman itu. Para ahli hukum banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti sosial, ekonomi, politik dan psikologi, tetapi kaum CLS lebih menekankan pada konteks sosial dan politik. Interpretasi banyak dipengaruhi oleh kondisi historis, maka prinsip-prinsip dan rasionalitas hukum tidak kebal dari pengaruh-pengaruh sosial dan politik. Mereka menegaskan bahwa pemikiran hukum mempengaruhi perubahan hukum dan melegitimasi tatanan sosial yang telah ada dengan cara yang berlaku tanpa terasa.

Kritik terhadap Teori Hukum


Alirah Hukum kritis merupakan kritik dari teori hukum yang menuntut bahwa pendekatan doktrinal itu cacat, dengan prinsip-prinsip abstrak seperti kemerdekaan, kebebasan berkontrak dan hak milik dapat menimbulkan kontradiksi dalam berbagai hal. Mereka menggunakan teknik-teknik sosiologis, antropologis, dan ideologis dalam tatanan hukum. Mereka mencoba melukiskan penekanan antara ide normatif dan struktur sosial. CLS menunjukan bagaimana hukum memberikan konstribusi terhadap stabilitas dan mengabadikan tatanan sosial yang ada. Duncan Kenedy dalam The Structure of Blackstone’s Commentaries merupakan salah satu contoh bagus dari metode ini yang menggambarkan analisis mendalam tentang bagaimana komentar-komentar tersebut melegitimasikan praktek-praktek sosial yang telah ada di Inggris waktu itu. Dengan jalan ini Kennedy dapat menunjukan bahwa keseluruhan pemikiran hukum modern memberikan sumbangan terhadap stabilitas suatu tatanan sosial.

Secara umum gerakan CLS menyalahkan pencarian sebuah sistem hak sebagai sebuah sistem yang tidak dapat dibuat secara koheren. Lebih dari itu, Individual meningkat melebihi komunitas dan kebutuhan komunitas terhadap individual dilupakan. Gabel dan Kennedy telah menuntut bahwa rakyat tidak membutuhkan hak mereka. Apa yang mereka butuhkan adalah bentuk nyata dari sistem kehidupan sosial yang bebas dari ilusi saat ini. Beberapa orang juga mengatakan bahwa eksistensi hak bermanfaat sebagai polisi dan orang lain dipaksakan. Hak-hak adalah poin yang berkumpul kepada sesorang. Kritik juga menolak keinginan dan kemungkinan rule of law.

Teori Hukum dan Teori Sosial

Salah satu yang diajukan secara prinsipil oleh CLS adalah kebutuhan untuk mengintegrasikan teori hukum dengan teori sosial. Dalam pandangan CLS, realitas bukan merupakan produk dari alam yang tidak bisa ditawar, namun merupakan "pertarungan antara individu yang dibatasi oleh suatu garis tertentu". Diskursus hukum adalah suatu diskursus yang perhatian utamanya pada kehidupan sosial. Dengan mengidentifikasi bentuk-bentuk kesadaran sosial, pendukung CLS berharap bisa memajukan individu. Dengan menunjukan bahwa kehidupan sosial semakin tidak terstruktur dan semakin komplek, semakin tidak berpihak dan semakin irasional, dari pada proses hukum yang dikira, kepentingan yang dilayani oleh doktrin dan teori hukum akan muncul.


Dalam pandangan Robert Gordon, kepentingan yang dilayani tersebut adalah suatu ideologi (cara pandang) dari kelompok masyarakat tertentu yang dominan. Dia mengajukan beberapa metode untuk menunjukan dan meruntuhkan ideologi dalam pemikiran hukum utama, yaitu melalui; perongsokan, dekonstruksi, dan geneologi. Pembentukan dominasi dijelaskan dengan menggunakan pemikiran Levi Strauss dan konsep hegemoni yang diungkapkan oleh Antonio Gramci. Salah satu cara untuk membongkar struktur sosial adalah dengan menggunakan metode geneologi dan archeology. Metode ini menelusuri dasar-dasar dan pemikiran dasar pembentukan struktur sosial yang hierarkhis.

A. Struktur Sosial

Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kelompok, kelas sosial, nilai dan norma sosial, dan lembaga sosial.

Struktur sosial merupakan ruang abstrak dalam masyarakat, sebagaimana ruang geografi yang kita kenal dan lebih konkrit. Semakin tinggi posisi dalam struktur sosial, semakin baik peluang hidupnya.

Struktur sosial dan fakta sosial

Struktur sosial merupakan fakta sosial, yaitu cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang berada diluar individu tetapi mengikat. Sehingga, kelas sosial tertentu identik dengan cara hidup tertentu. Kelas sosial bukanlah sekedar kumpulan dari orang-orang yang pendidikan atau penghasilannya relative sama, tetapi lebih merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki cara atau gaya hidup yang relative sama.

PRANATA SOSIAL

Adalah wadah yang memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi menurut pola perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku. Horton dan Hunt mengartikan pranata sosial sebagai suatu hubungan sosial yang terorganisir yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur yang sama dan yang memenuhi kebutuhan2 dasar teertentu dalam masyarakat.

Hubungan Sosial

1. a. Pengertian Hubungan Sosial

Adalah : Suatu kegiatan yang menghubungkan kepentingan antarindividu, individu dengan kelompok atau antar kelompok yang secara langsung ataupun tidak langsung dapat menciptakan rasa saling pengertian dan kerja sama yang cukup tinggi, keakraban, keramahan, serta menunjang tinggi persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Contoh hubungan sosial

Adalah gotong royong, kepekaan sosial.

c. Bentuk-Bentuk Hubungan Sosial

1) Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok sosial : Paguyuban, Patembayan.

2) Bentuk hubungan sosial berdasarkan klasifikasi

Antar kelompok : Fisiologis dan kebudayaan.

3) Bentuk hubungan sosial berdasarkan dimensi antar kelompok : demografi dan sikap.

4) Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok mayoritas dan minoritas.

5) Bentuk-bentuk hubungan sosial berdasarkan ras, rasisme, dan rasialisme : ras & rasisme.

6) Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok etnik.

7) Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok dimensi sejarah : Etnosentrisme & persaingan.

8) Bentuk hubungan sosial berdasarkan pola hubungan sosial antar kelompok : Akulturasi.

9) Bentuk hubungan sosial berdasarkan kelompok sosial : Prasangka & Institusi.

2. a. Pengertian kebutuhan integrative

Adalah : kebutuhan manusia untuk menyalurkan kemampuannya sebagai makhluk pemikir & bermoral yang berfungsi untuk mengintegrasikan berbagai kebutuhan dan kebudayaan menjadi satu kesatuan sistem yang bulat dan menyeluruh serta masuk akal bagi para pendukungnya.

b. Contoh kebutuhan integrative

Adalah : rekreasi dan hiburan, perasaan benar / salah, perasaan adil / tidak adil, serta perasaan kolektif / kebersamaan.

3. a. Pengertian kebutuhan sosial

adalah : Kebutuhan manusia untuk berinteraksi dan melibatkan diri dengan orang laut dapat hidup secara berkelompok.

b. Contoh kebutuhan sosial

Adalah : Kegiatan bersama, sistem pendidikan, berkomunikasi dengan sesama, keteraturan sosial dan kontrol sosial, serta kepuasaan batin dari suatu keberhasilan yang diperoleh.

4. a. Pengertian pranata sosial

adalah : Seperangkat aturan / tata cara dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

b. Fungsi pranata sosial

(1) Menurut Soebjono Soefanto, yaitu :

? memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana harus bersikap / bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul dan berkembang dilingkungan masyarakat, terutama yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan.

(2) Menurut Horton dan Hunt, yaitu :

>fungsi Manifes / fungsi nyata :

yaitu : fungsi pranata yang disadari dan diakui oleh seluruh masyarakat.

>Fungsi Earten / terselubung :

Yaitu : fungsi pranata yang tidak disadari dan mungkin tidak dikehendaki, atau jika diakui dianggap sebagai hasil sampingan dan biasanya tidak dapat diramalkan.

c. Tipe-Tipe Pranata Sosial

1) Berdasarkan perkembangannya, yaitu :

* Crescive Institution

* Enacted institution

2) Berdasarkan sistem nilai yang diterima masyarakat, yaitu :

* Basic institution

* Subsidiary institution

3) Berdasarkan penerimaan masyarakar, yaitu :

* Approved / social sanctioned institution

* Unsactioned institution

4) Berdasarkan factor penyebabnya, yaitu :

* General institution

* Restricted institution

5) Berdasarkan fungsinya, yaitu :

* Operative institution

* Regulative institution

d. Tujuan pranata

• Menurut Koentjaraningrat, yaitu :

Untuk memenuhi kebutuhan sosial dan keberatan : untuk memenuhi kebutuhan sosial dan kekerabatan (domestic institutions). Contoh : perkawinan, keluarga, dan pengasuhan anak.

A. Pengendalian Sosial

Pengendalian sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya pengendalian sosial yang baik diharapkan mampu meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang.

B. Macam-Macam / Jenis-Jenis Cara Pengendalian Sosial

Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial masyarakat :

1. Pengendalian Lisan (Pengendalian Sosial Persuasif)

Pengendalian lisan diberikan dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial untuk mengikuti peraturan yang berlaku.

2. Pengendalian Simbolik (Pengendalian Sosial Persuasif)

Pengendalian simbolik merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan, iklan, dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.

3. Pengendalian Kekerasan (Pengendalian Koersif)

Pengendalian melalui cara-cara kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama.